“Kau tahu Chevalier dan ayahku akan membunuhmu jika mereka menangkap kau di sini—bersamaku?”
“Ha,” pria muda itu mendengus, nyaris terbentuk seringai dari wajahnya yang tirus. “
Natalya, gadis itu tersenyum kecut. Sejauh ia menerawang, hanya ada kehangatan yang dibingkai kolam iris biru laut milik Damien—pria yang baru dikenalnya selama 48 jam. Aroma gin yang menguar kuat dari mulutnya, wajah tirusnya sekan mengguratkan kisah hidup yang teramat panjang. Merintis hidup dari tetes kesengsaraan hingga berakhir pada pengkhianatan terhadap hidupnya sendiri. Entah berapa banyak entitas yang dikorbankan pria ini demi memuaskan suatu dahaga, apapun itu, terlukis samar dari sepasang manik rubi yang sendu. Natalya memejamkan kedua matanya, menggeliat nyaman dalam rangkulan dan hanyut dalam suara beledu si pria muda. Andai ia tidak terjebak dalam lingkaran hades yang diciptakan Damien, ia pasti telah bersanding di altar dengan pria-nya tiga jam lalu, dengan lily favoritnya sebagai bouquet, dan Natalya tidak akan melolong mencari pertolongan, beberapa saat dari sekarang.
Ah, dunia ini memang tidak adil bukan? Ketika seorang domba muda akhirnya jatuh cinta pada serigala berumur ratusan tahun yang telah mengenyam segala bentuk pentas kehidupan. Dan tentu saja, kata ‘wanita’ masuk dalam kategorinya.
Ha!
Destiny’s for losers.
It’s just a lame excuse for letting things happen to you instead of making that happen. Tsk—
Apa arti kata ‘takdir’ bagi Damien? Nay. Ia bahkan tidak mempunyai pegangan hidup semenjak bangunnya ia dua ratus tahun lalu. Pelipisnya berkedut janggal tiap kali ia mengingat berapa lama waktu dan darah yang dikorbankan untuk merenggut takdirnya sendiri—takdir kaumnya dari para makhluk ignoran yang nyaris memusnahkan klan mereka di pelosok dunia. Andai mereka mortal, pasti mereka tidak membutuhkan grail terkutuk itu untuk menyelamatkan rasnya, andai mereka mortal, tidak akan ada skandal desa mengenai hilangnya puluhan penduduk secara misterius, andai mereka mortal—mereka tidak akan sehaus dan begitu maniak terhadap apapun yang menyangkut cairan merah pekat itu. Ya, takdir orang berbeda-beda. Takdirnya dan saudaranya adalah grail. Sementara takdir Natalya—berada dalam genggamannya.
Sudah cukup menghabiskan waktunya, Julien.
“Biar aku beri tahu kau tentang apa itu—’destiny’,” Damien mengecup lembut kening gadis yang bahkan belum genap berusia delapan belas tahun itu.
“Adieu,”
CRASSHH
Tolong… Chevalier…
Bulir kristal mengalir perlahan dari pelupuk mata si gadis, memohon kepada waktu untuk mengembalikan takdir yang seharusnya ia genggam—berjalan di altar bersama tunangannya, mempunyai setidaknya lima keturunan, dan menggarap ladang gandum mereka bersama. Namun, apa yang bisa ia perbuat ketika Damien—Julien telah menyedot habis darahnya? Natalya terpaku dalam tawa maniakal si manusia jejadian. Matanya terpancang tak berdaya ketika sang penyedot darah menikmati sisa terakhir hidupnya. Baginya—ini akhir, namun bagi Julien, ini awal Mei yang sempurna.
Takdir—terkadang memang menyakitkan.
“Oy,”
Asap dari suatu tempat terdispersi oleh cahaya bulan, mengurai partikelnya hingga jelas membentuk siluet pria lain di pintu gubuk. Jaket panjangnya menutupi seluruh tubuhnya. Jangan heran, meski temperatur bisa mencapai 35 derajat musim ini, mereka tidak akan merasakan apapun, termasuk nyeri ketika kau tersengat lebah atau diguyur minyak panas. Mati rasa. Tak hanya menyangkut fisik, sebenarnya. Dengan menopang sebelah tubuhnya pada kayu rapuh pintu gubuk, pria muda itu mendekap tangannya dengan santai menenggarai seorang wanita tak bernyawa dan pelaku yang masih menikmati sisa makanannya.
“Apa yang membuatmu begitu lama, hm?”
Julien menyeka bibirnya yang diguyur aroma karat, kini lengan kemejanya yang cerah benar-benar ternoda. “Sabar. Kau tahu, jarang mendapatkan darah segar aroma ini. Lagipula, ia cukup menarik kok,”
“Jangan bermain-main dengan makanan, Julien,” ia mendesis sambil memuntir ujung jaketnya.
“Damn you Edvard,” Julien mendengus. “Bisakah kau menikmati hidup sebentar? Pantas saja gadis-gadis menjauh darimu. Awkward, frigid uhh. Kau melenyapkan mangsamu duluan, bahkan sebelum kau menyentuhnya,”
“Well, aku tidak akan diuntungkan toh dengan kelakuan womanizer seperti milikmu itu,” Edvard berkata dengan datar.
“Of course! Kau jaring, lalu kau makan. Simpel, itu prinsipnya,” ia terkekeh ringan. Dalam hati, Julien merutuki betapa lambatnya pemikiran saudaranya itu. Entah, namun siapa sangka Edvard mampu meraup mangsa lebih banyak dari Julien pada suatu malam—dengan perbandingan korban wanita lebih banyak daripada pria.
“Aku tidak menjaring mereka,” ia melanjutkan “They will come to me,” perkataannya sungguh sarat dengan nada kemenangan, namun tetap. Tak ada yang berubah dari ekspresi statisnya. Julien memutar bola mata, stagnasi dalam perdebatan tak bermakna ini. Lebih baik jika waktu digunakan untuk melesat jauh dari desa ini sebelum penduduk menangkap basah perbuatan mereka. Selanjutnya dijatuhi hukuman pancung, guillotine yang sedang marak, atau dikuliti hidup-hidup oleh kepala desa, ayah si gadis ini. Tak ada satupun dari pilihan itu yang benar-benar menantang nyali mereka berdua. Andai ada vampir klan lain yang bersedia untuk turun tangan memperlihatkan kemampuannya, well, mungkin mereka bisa tinggal di desa ini lebih lama.
“Let’s get outta here, Monsieur Damien” Edvard menganggukan kepalanya ke arah luar, membalik tubuhnya dengan anggun dalam satu putaran. “Sebelum mereka menjadikan kita daging panggang Hanukkah,”
“Izinkan aku mengucapkan salam perpisahan kepada nonaku satu ini,” Julien mengecup singkat tangan Natalya yang mendingin, nyaris sedingin es, sementara tangannya sendiri bersuhu sama. Dalam temaram cahaya bulan, wajah gadis itu tersorot sedikit. Raut janggal jelas tergurat, namun tak bergeming, kini damai dalam tidur abadinya.
“Ayo,”
Present
-----------------------------
Julien merogoh benda mungil berukir celtic kuno dari saku sisi jubahnya dengan asal. Lagi-lagi, hanya ditemani lolongan serigala yang saling bersahut, seakan merajut isyarat bahaya. Bayangannya dan pria di sampingnya terlukis jelas di tanah yang agak meretak, menimpa siluet lain yang terpeta malam itu. Edvard yang berada beberapa kaki di depan seakan mengabaikan suara gemerincing yang berasal dari batu emerald berlapis emas yang melingkar di tangan Julien beradu dengan benda-benda di sakunya. Nafasnya—ah, abaikan. Mereka tidak bernafas sesungguhnya. Tidak pula detak jantung yang memompa kehidupan manusia normal. Julien menyalakan pemantik mungil perak itu dan mulai menguarkan asap cerutu. Tidak masalah, mereka toh tidak bernafas. Dan Edvard pun tidak keberatan menghirup udara sampah yang seringkali dipersalahkan atas kematian mereka di dunia ini. Lebih bagus malah. Kau bisa membunuh beratus-ribu, berjuta, bahkan semua makhluk rendah ini dengan kepulan asap yang bahkan tak mempunyai nyawa. Well, tanpa suatu intensi.
Mengapa tidak pernah terpikirkan sebelumnya?
Detik menggelinding, dalam deru waktu yang mereka buang di suatu hutan antah berantah terhitung sejak dua hari lalu. Julien telah mengenyam kenikmatan berpuluh—beratus, entah, berapa banyak cerutu kuba kualitas terbaik dari kantung seorang pria tua kehabisan darah di desa sebelumnya, sementara sang saudara harus patuh mengikuti insting yang tetap terpancang pada sebuah benda abstrak yang menjadi takdir mereka selama menjejak bumi sekian ratus tahun. Seluruh inderanya dipaksa bergumul untuk berkonsentrasi, jauh lebih keras dari usaha pria satunya. Sejuta ketika itu adalah sebuah polaroid monokrom yang tereksekusi dari ledakan-ledakan kecil yang membuncah di jalan pikir Edvard. Cepat—dan tak berwarna, namun citraannya semakin jelas selagi detik beranak pinak.
Apa—dan dimana benda brengsek pengganjal hidupnya itu?
Malam semakin merayap ketika wajah-wajah tirus pucat itu semakin indah ditempa cahaya bulan. Kini Edvard dan Julien berjalan berdampingan pada jalan setapak yang cukup luas—untuk ukuran jalan setapak. Tak perlu jeli untuk meraba suasana malam itu. Bulan purnama, siluet ranting kering, lolongan serigala, dan aroma kuat cashmere lily yang biasa digunakan bangsa Schruff untuk mengkremasi jenazah, dan dua orang yang tidak berasal dari ras manusia. Apa lagi yang kalian bisa pertaruhkan untuk lolos dari tempat ini?
“Mukamu tegang,” Julien membuka pembicaraan.
Edvard menelan ludah, kemudian meraba perlahan daerah yang dirasa mengganjalnya. Luar biasa kering, lewat beberapa momen kerongkongan itu tidak diguyur cairan yang biasa membuat instingnya liar.
“Jelas,” ia menghela nafas, “Andai tiap inci bagian hutan ini bisa bertransformasi menjadi darah,” ia melanjutkan, “Dan aku muak dengan pemandangan pohon kering ini,” Ah, cliché . Nada muak memang mencuat sedikit dalam racauannya. Memang seharusnya begitu, bukan?
Sebelah tangan Julien mengepal, lalu meninju pelan bahu pria kaukasian pucat di sebelahnya yang terlihat kacau, namun tetap memukau sekalipun didandani pengemis desa ignoran. Tangannya lalu melingkar pada leher Edvard, menjangkau dengan mudah sejak fakta bahwa Julien lebih tinggi beberapa inci dari pemuda itu. Ia mencoba nyengir, namun lebih timpang kepada seringai jahil.
“Lihat itu,” asap cerutu dihempaskan ke udara kosong, memenuhi langit pekat dengan asap artifisial mematikan. “Lights, love, and glory,” Julien mengucap ketiga kata dengan penuh penekanan—dan aksen dibuat-buat yang ia tiru dari para pengembara Bristol. Sekali lagi ia melepaskan asap cerutu, kali ini dari hidungnya. “Beberapa mil lagi, Bung. Dan kita panen,” Julien tergelak nista sejurus kemudian.
Perkataan saudaranya membuat sepasang olive milik Edvard memindai penuh gejolak pada sebentuk kerlap yang menyentak megah pekatnya malam. Poseur yang sempurna, dari sudut bukit yang tengah ia dan Julien daki. Sebuah peradaban lain yang seakan terisolasi dari peradaban manusia lain dengan adanya bebukitan yang menghimpit, serta lampu-lampu melingkar yang membatasi desa. Indah—begitu para manusia menyebutnya. Julien masih belum berhenti mengisap dan menghembuskan asap, frekuensinya malah bertambah. Nampaknya berat kantungnya berkurang drastis sejak puluhan cerutu itu terbakar sia-sia. Sementara Edvard ditelan keheningan. Sebagian jiwanya masih beringsut pada kemerlap sang peradaban, sebagian lagi meronta mencari nyawa. Semuanya disatukan dalam suatu pita merah rapuh bertuliskan—takdir.
Pelataran kota yang sepi—terlalu sepi untuk kemegahan setara Snagov diperlebar lima kali. Sebuah papan kayu menjulang disediakan untuk menyambut para pengembara yang akan memasuki desa, meski cat telah mengelupas hampir setiap sisinya, mereka masih bisa melihat jelas tulisan bercat hijau yang mengenalkan para asing kepada peradaban ini. ‘Verran’. Entah, baik Edvard maupun Julien tidak ada yang pernah mendengar kota dan kata ini, meski rasanya tidak ada daerah yang belum terjamah oleh mereka selama ratusan tahun. Manik mereka bertemu pandang, bertaut dalam perasaan yang sama. Makan malam, petualangan, dan gadis—uhm, itu untuk Julien tentunya. Jika burung kenari kuning yang mengintai mereka dari balik ranting oak tidak berkicau, maka kota ini akan mirip miniatur pekuburan Montmarte yang luasnya berhektar-hektar tanpa digawangi aura kehidupan. Hanya—kota ini jauh lebih megah dibandingkan sebatas batu nisan yang mengukuh pada tiap persemayaman manusia.
“Verran? Kota macam apa ini?” Julien mendesis, sesaat setelah cerutunya padam dan dilempar dari jari kanannya. “Aku tidak pernah menemukan di peta—dari racauan para pemilik bar—dari cerita para pengembara—dari buku—ataupun dari gadis-gadis yang suka berpetualang,”
“Verran, hm?”
“And where the hell are these people? Dengan lampu menyala dan asap yang mengepul dari cerobong? Aku rasa ini belum tengah malam. Petang baru menyambut,”
Angin menyaput rambut Ed, manik safirnya menyalang siaga mencari jejak kehidupan.
“Ed, did you hear me?”
“Ha,” ia mendengus dengan penuh kemenangan. “Sepertinya mereka—di sini,” sebuah kertas kayu melambai dari genggaman Edvard. Begitu banyak warna yang menghiasi sebuah kabar pesta dansa tahunan desa. Mata Julien memicing, kemudian mengambil perkamen dari tangan pria itu. “Tanggal berapa sekarang?”
“Who cares?” Edvard memeta senyum asimetris khasnya, “Kita menuju tempat ini, aku butuh setidaknya dua barel,”
“Whoa. Kau benar-benar lapar rupanya, hm?”
***
Sejumput kemenangan telah mereka genggam. Beberapa blok dari gedung mewah yang terletak di tengah kota, sekelompok manusia tengah hilir mudik dengan rajutan renda liquor dan tenunan satin mewah yang terindah yang masing-masing mereka miliki. Rambut digelung ketat bagi para hawa, nyaris serupa pada tampilan tiap entitasnya. Tangan mereka yang bersampul stoking transparan menggamit lengan pria yang dibalut tux mewah, lengkap dengan sapu tangan sutra yang diselipkan segitiga pada saku atas. Lady. Mereka melengkapi diri dengan clutch atau kipas tangan berenda dengan mutiara, ruby, atau emerald bergelung angkuh pada leher. Kereta kuda berbagai bentuk memanjang hingga berpuluh meter, menunggu sang tuan turun di pelataran lobi ballroom.
Julien Cottilard dan Edvard Dragomir, keturunan terakhir Ravn menapak di karpet merah dengan dagu terangkat. Dan hei, mereka bahkan tidak mengenali sang walikota yang mengulurkan jabatan tangan, namun hanya disambut senyum dan single glance yang membuat antrian gadis di seberang sana tak hentinya mengedarkan tatapan takjub pada kedua makhluk tersebut. Mon Dieu, andai wajah mereka tidak sempurna seperti patung daud pahatan Michelangelo, pasti penjaga akan segera menendang mereka jauh-jauh dari gedung yang dipenuhi socialite Verran, atau apalah nama tempat ini. Pasti.
“Makan malam, Julien?” Edvard, dengan suara beledunya mendesis janggal dan memamerkan deretan giginya yang rata dan putih—selain itu, ah. Kalian juga tahu sendiri kan?
Aha. Julien mengenali nada ini.
Somebody’s gotta get a meal—or else.